Sahabatku, usai tawa ini
Izinkan aku bercerita :
Izinkan aku bercerita :
Telah jauh, kumendaki
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana
Telah jauh, kuterjatuh
Pedihnya luka, di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku di sini...
Pedihnya luka, di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku di sini...
Yang Cuma ingin diam, duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring...sakit
Yang sudi dekat, mendekap tanganku
Mencari teduhnya dalam mataku
Dan berbisik: “Pandang aku, kau tak sendiri, oh dewiku...”
Dan demi Tuhan, hanya itulah yang
Itu saja kuinginkan
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring...sakit
Yang sudi dekat, mendekap tanganku
Mencari teduhnya dalam mataku
Dan berbisik: “Pandang aku, kau tak sendiri, oh dewiku...”
Dan demi Tuhan, hanya itulah yang
Itu saja kuinginkan
Telah lama kumenanti
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji...
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji...
Untuk diam, duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring....sakit
Menentang malam, tanpa bimbang lagi
Demi satu dewi yang telah bermimpi
Dan berbisik : “Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersamaku...”
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring....sakit
Menentang malam, tanpa bimbang lagi
Demi satu dewi yang telah bermimpi
Dan berbisik : “Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersamaku...”
Wahai Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi
Dee
Baca puisi itu, sejenak membuka memori dalam lipatan cerebrum
saya. Tentang rasanya memiliki sahabat dan menjadi seorang sahabat. Sekelebat,
masing-masing episode lewat di ingatan saya. Tangis, canda, tawa, konyol,
bodoh, ngga jelas. Jadi satu dalam sebuah relasi bernama “sahabat”.
Ngga perlu muluk-muluk. Sebenarnya yang kita butuhkan
hanyalah seorang sahabat yang tetap ada walau sekedar membawakan segelas air
ketika kita sakit tak berdaya. Biasa saja. Bukan yang paling kaya, bukan yang
paling cantik, bukan yang paling tampan, bukan yang “paling”.
Dari puisi itu, saya menemukan ceritanya. Terbalut dalam
sebuah sampul Rectoverso, berlabel Curhat buat Sahabat. Apalagi yang
dia impikan? Yang dia inginkan? Segalanya telah dia miliki. Namun yang dicari
hanya yang bisa membawakannya segelas air itu. Disaat dia sakit, berbaring,
lemas tak berdaya.
Yang dia mau hanya satu, yang ada di depannya. Yang tak jauh
dari pelupuk matanya, “sahabat”.
Duhai kamu, tetaplah disampingku. Berjalanlah beriringan
denganku. Bersedialah berbagi dirimu, diriku. Aku tau, kamu menyayangiku.. kamu
tau, aku menyayangimu. Kita beriringan. Bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar